Jumat, 02 September 2016

cinta atau petaka?

Aku tertegun,
dibesarkan dalam keluarga yang notabene beriman, belum tentu berarti imanku kuat.
Dihadapkan dengan realita dan pesona pria berbagai belahan dunia.
Apa yang kujadikan patokan selama ini mulai goyah.
satu ras?
Ah, yang penting satu agama!
satu agama?
Tapi kan perkawinan beda agama sudah bisa diterapkan!

Aku tak mau menjadi mereka yang terus berkelit,
tapi terkadang hati penuh kemauan.
Disinilah iman diuji dan logika diperlukan.
Ketika kita dihadapkan pada pilihan.
Orang tua?
Atau perasaan diri sendiri?

Keras aku berpikir,
apakah ia benar adalah jodohku?
Bagaimana jika rasa ini adalah sementara,
dan bisa berujung petaka?


Selasa, 26 Juli 2016

Ceritaku - bagian 2



Hampir 3 bulan berlalu sejak pertama aku menginjakkan kakiku di redaksi ini. Percakapan kita bermula semenjak kebosanan bodoh itu mendatangi kita dikala sore. Ya, kita bertiga. Aku, dia, dan Ka Indah. Ka Indah adalah sekertaris baru di redaksi kami. Aku benar-benar baru mengenalnya. Kita bertiga manusia canggung yang memaksakan diri membuka percakapan demi membunuh sebuah kebosanan sore. Berawal dari video youtube soal pembunuhan anak UI, dia yang anak UI, lalu bersambung ke banyak hal. Pembicaraan kita berputar di sekitar UI, sembari mengenal dirinya lebih jelas, yang notabene adalah alumni universitas bergengsi itu. Lalu pembicaraan selesai dengan datangnya malam. Hanya itu yang kuingat sebagai memori awal kita dekat. Selanjutnya, diikuti dengan dirinya yang sedari awal hanyalah seorang reporter pendiam dan sering ngalor ngidul sendiri keluar kantor, menjadi dia yang suka berpindah dari kursinya dan main ke barisan kursiku. Hahaha kursiku, seperti akan lama saja kedudukanku disana.

Ceritaku - bagian 1



“Eh jangan deket-deket ntar jatuh cinta repot, beda agama.” Celoteh Mas Bowo saat dia duduk di sebelahku. Aku sedang mengecek cuaca sore itu, menengok keluar ke arah rintik hujan yang turun sementara ia perlahan menyematkan bokongnya di besi pinggir jendela sebelahku. Saat itulah kita mulai dekat dijembatani oleh kebosanan redaksi di kala sore. Celotehan Mas Bowo membuatku tersenyum masam. Bukan, bukan karena aku tak suka dia, namun aku bingung harus berekspresi apa. Aku pun tak berani mengecek raut wajahnya saat itu. Takut kecewa, renggutku dalam hati.

My writing music

Ketika mendeskripsikan betapa terpuruknya aku disini, suaranya mengiringi langkah jemariku menari di atas keyboard.


Confession

YEAY! Akhirnya aku berani mengambil langkah untuk membuat blog pribadi yang kurang penting ini.
Tapi ini adalah some kind of goal that I longed to make to heal that sour wound of mine.
mungkin selang beberapa posting selanjutnya aku akan ceritakan tentang luka belum sembuh yang terlalu sering keciprat garam itu. lol.
see you guys soon. :)

Topeng Kebaikan

Pernah dulu sekali saya menjadi anak perempuan yang sangat naif menghadapi dunia.
Pernah saya menjadi orang baik yang tidak pernah menolak permintaan tolong.
Pernah saya berpikir bahwa pada dasarnya semua orang itu baik.
Sampai saya menangis karena seorang manusia yang notabene bukan karena putus hubungan kasihnya dengan saya. Manusia jahat itu benar adanya.

Memasuki dunia kerja, saya kemudian melihat bahwa manusia jenis ini ada dimana-mana.
Ya, saya tidak bisa menyalahkan mereka yang menerima manusia seperti itu dalam perusahaannya karena banyak kelebihan lain yang mereka miliki. Disamping wajahnya yang bervariasi itu.
Namun sekarang saya berpikir ulang.
Apakah kita lebih baik menjadi orang jujur yang kurang beruntung,
ataukah lebih baik jika kita membeli satu saja, topeng kebaikan itu?

Perenungan #1

Terkadang saya suka berpikir, buat apa kita hidup jika akhirnya kita akan mati?
Tapi kata para tetua itu, kita harus memberikan jejak dalam masyarakat, jadi berguna dalam masyarakat. Begitu katanya.
Mungkin saya hidup belum terlalu lama. yang dikerjakan kebanyakan hanya untuk kenangan sesaat.
Namun manusia bisa berusaha ketika mereka mau, bukan?
Ya.
Itu kata mereka.
Belum kualami dalam hidupku.